October 23, 2017

MENGENANG KEMBALI MASA SULIT

pic source: pixabay.com
Ketemu atau tidur bareng si adek itu pasti jadi bikin ngobrolin masa lalu.
Nggak tahu ya kenapa bisa gitu, yang jelas lebih banyak flashback aja dan bikin ngebandingin kehidupan kita sebelum dan sesudah perubahan besar terjadi.

Kami sering tenggelam lagi dalam kenangan ketika mengingat-ingat masa lalu yang menyadari betapa banyak hal yang tidak lagi berada di tempat yang semula. Barangkali karena waktu, atau memang karena keadaan.

Tidak mungkin manusia terus berada pada mood dan sifat yang seratus persen sama seiring rentang waktu, apalagi keadaan. Sering sekali si adek mengeluh, "dulu bayanginnya pas masa kuliah bakalan diteleponin mami tiap waktu buat ngobrol atau ngingetin makan kayak pas mbak dulu kuliah. Eh taunya cuma bayangan aja. Dulu mikirnya kalau aku udah kuliah diluar kota tiap pulang bakalan dimasakin makanan kedoyanan sama mami, baliknya bawa-bawa sembako segala macem eh ternyata nggak ada masa kayak gitu sama sekali di realita masa kuliahku. Temen-temenku pada ditelepon emaknya, aku kagak ada yang nelepon..."

"Ya gimana ya, ujian masing-masing orang kan beda-beda. Jadi nggak usah iri sama yang kelihatannya keberuntungan orang lain, karena belum tentu kita kuat kalau dapat ujian yang sama kayak orang itu juga." saya ngingetin.

"Ngomong-ngomong soal itu harusnya justru bersyukur karena kamu pas kuliah dan butuh duit banyak, pas mbak udah kerja dan ada aja rezeki dari sini sana makanya lebih dari cukup buat support kebutuhan kuliah dan printilan-printilanmu. Baju aja masih mampu beli yang brand bagus-bagus toh? Beda banget lho sama pas dulu mbak kuliah semester akhir pasca si mami nggak ada, kalau bisa makan dan kebutuhan sehari-hari nggak lebih dari sepuluh ribu perak per harinya saking nggak punya duit dan situasi sulit. Jangankan surfer girl apalagi fossil, beli Nevada aja kagak sanggup kalau freelance jobnya cuma dapet dikit bulan itu. Belum hubungan keluarga yang kritis udah lengkap kan permasalahannya,"

"Boro-boro naik pesawat, pas nyari kerja aja dibela-belain pagi-pagi buta berangkat ke stasiun dan berdiri di kereta dari Malang-Surabaya demi tiket kereta murah 3,500 perak. Kalau nggak gitu ya bisa nggak makan gara-gara duit habis buat transportasi wawancara kerja doang yang bulak-balik Malang-Surabaya," lanjut saya lagi.

Sebenernya cuma mengingat apa saja yang pernah saya lalui dan proses apa saja yang telah terjadi dalam hidup saya dari titik terberat hingga saat ini saja, bikin saya sedih sendiri. It's really tough. Dan saya surprising ternyata mental dan fisik saya bisa melalui itu semua dengan tetap berada dalam jalur. I mean, rasanya saya perlu banyak-banyak bersyukur karena dalam masa-masa sulit itu saya tidak kehilangan prinsip-prinsip hidup yang saya yakini, moral maupun kewarasan untuk memilih dengan benar.

Saya bersyukur kejadian-kejadian itu tidak lantas membuat saya jauh dari Allah. Ya, saya pernah futur dan merasa marah padaNya, memprotes,"Why me? why should me?"
Syukurlah kemarahan itu tidak membuat hati saya kaku dan melanggar nilai-nilai yang selama ini saya yakini.

Dan satu hal lagi yang saya syukuri, orang tua yang membiasakan kami untuk mandiri sejak usia dini membuat kami mampu melewati masa-masa sulit yang terasa sendiri dengan cukup kuat tanpa too much drama.

Masa kecil mulai usia sebelum sekolah, mungkin setara dengan usia anak yang mengkonsumsi susu s26 tahap 1 Promise Gold, sudah mulai dibiasakan untuk mengerjakan pekerjaan rumah mulai dari yang paling ringan. Melipat sendiri selimut yang baru saja dipakai tidur meskipun lipatannya jelek, membereskan peralatan makan sendiri meskipun belum diberi kewajiban untuk mencuci piring, siram-siram tanaman dalam pot dan entah apa aja saya lupa sih. Yang jelas semakin bertambah usia, ibu saya semakin menambah sedikit demi sedikit tugasnya. Paling tidak hingga usia sekolah dasar kami sudah cukup siap untuk minimal bisa mengurus diri sendiri ketika orang tua/ orang dewasa lain tidak ada di rumah.

Untuk masalah bepergian juga begitu, adik saya sudah sejak SMP mulai training bepergian secara mandiri. Mulai dari liburan ke kos saya yang pasti awalnya pulang pergi bareng saya, kedua kali pulang pergi bareng temannya sampai sudah biasa pulang pergi naik bis sendiri ke kos saya di Malang. Karena sudah terbiasa jadi no drama. Skill yang sangat berguna ketika kebanyakan anak-anak harus mengurus perkuliahan dan kebutuhan di perantauan bersama teman-temannya sementara si adek harus mengurus semuanya sendiri karena saya bekerja di ibu kota dan dia melanjutkan pendidikan di Malang.

Namun hal terbesar yang paling saya syukuri adalah, kami sama-sama melewati proses itu dengan baik, dengan kuat. Tanpa menjadi negatif, tidak macam-macam dan tanpa kehilangan prinsip-prinsip kebenaran yang diatur dalam agama. Bahkan meskipun saya yang banting tulang di kota lain tidak bisa mengawasi aktivitas si adek dalam 24jam, sehingga saya percaya saja apa yang dia sampaikan. Tapi alhamdulillah Allah menjaganya dan dia juga cukup bertanggung jawab atas kepercayaan yang sudah saya beri.

"Kita tidak mampu membalas apapun yang diberikan mami kepada kita. Meskipun uang kita sudah sebanyak apa dikemudian hari. Tapi kita bisa berusaha menjadi sholehah, sehingga do'a-do'a kita untuk mami akan didengar Allah," itu yang selalu saya pesankan sejak dia SMA. Masa manja yang sebenarnya masih butuh banyak bimbingan. Saya bersyukur karena dia berusaha menjalankannya hingga saat ini.

No comments:

Post a Comment