July 31, 2016

TENTANG RELASI SAYA DAN KOPI



“ Lho kok ada warung kopi lagi,” suami berkomentar kaget saat menyetir menuju rumah di Surabaya Barat. Saya menatap melewati jendela kaca mobil, mengawasi warung kopi baru yang berdiri megah di pinggir jalan menuju rumah.

Kekagetannya adalah sebuah hal yang wajar mengingat semenjak menikah dan kami tinggal di Surabaya barat semakin banyak saja warung-warung kopi yang berjajar di pinggir jalan. Bahkan sebelum dekat dengan wilayah rumah pun, warung-warung kopi seperti ini telah lama menjamur. Perhatikan saja di daerah Banyu urip yang dahulunya adalah jalan kecil yang padat dengan kendaraan lalu lalang dan pedagang kaki lima.

Dahulunya daerah itu adalah sisanya adalah sungai yang cukup dalam sebelum pembangunan pemerintah membuat area sungai menjadi perlebaran jalan sehingga jalan tersebut masing-masing menjadi jalan satu arah.

Perlebaran jalan itu nampaknya tidak berdampak terlalu signifikan, justru semakin banyak pedagang kaki lima dan pasar kaget yang menggelar dagangannya di pinggir jalan membuat jalan yang sebenarnya lebar menjadi sempit. Disamping itu berdiri pula warung-warung kopi yang menyediakan kopi panas dan aneka minuman lain yang bisa dinikmati bersama mie instan dan gorengan yang juga menjadi menu warung.

Dulu di jalan dekat menuju rumah ada sebuah warung kopi yang saban hari ramai terus dikunjungi pembeli. Bangunannya temporer seperti tenda nikahan, dibawahnya terdapat jajaran meja-meja panjang dan anak muda yang menikmati secangkir kopi sambil mengobrol sesame mereka. Ada juga yang membiarkan cangkir kopinya dingin begitu rupa tanpa menyesapnya sedikitpun, mata menekuri layar ponsel dengan wajah serius, mungkin sedang menikmati fasilitas wifi.

Warung kopi 24 jam dengan fasilitas wifi sementara harga kopi tentu saja jauh selisihnya dibandingkan dengan kedai kopi yang erat branding produknya dengan lokasi di mall-mall dan menjadi lokasi rutin berkumpulnya eksekutif muda. Harga kopi bisa membeli semangkuk bakso jagalan dengan porsi yang bikin kenyang sampai bosan. Itulah alasannya mengapa kaum pria terutama para anak-anak muda kerasan bertahan berjam-jam nongkrong di tempat tersebut.

“Rame ya?” kata saya, berceletuk saat pertama kali melihat tenda tersebut. Saat itu dini hari dan suami baru saja menjemput saya dari bandara setelah salah satu perjalanan melelahkan dari Jakarta karena urusan pekerjaan dan kami masih pasangan muda yang menjalani long distance marriage karena pekerjaan.

“Ya biasa gitu, lihat saja kalau ramai terus nanti pasti ganti jadi bangunan setengah permanen kemudian full permanen,” komentar suami.

Beberapa bulan kemudian setelah percakapan kami, benar saja warung kopi tenda telah menjadi setengah permanen. Dan saat ini disebelah-sebelahnya berdiri warung kopi serupa, ada yang menawarkan konsep kafe terbuka dengan menyediakan menu-menu makanan dan yang belum lama buka bertempat di sebelah gang masuk tempat tinggal kami. Warung kopi yang ini kecil saja dengan bangunan warung yang khas dari tripleks dan kayu, konsep gratis wifi dan menyediakan menu jagung bakar yang dibakar langsung setiap ada order di sebelah warung.

Konsep kopi sudah lama bergesar, dulu kopi dinilai sebagai minuman yang diseduh untuk menemani bapak-bapak meronda dan diseduh saat pagi untuk menemani membaca Koran. Kadangkala diseduh saat sore ketika mulai mengantuk dan kita sudah tidak lagi berkonsentrasi pada meeting yang kita hadiri atau pekerjaan yang sedang kita tangani. Sangat jarang orang yang menyantap kopi saat malam hari karena kebanyakan orang meyakini kita akan susah tidur karenanya, tentu saja pengecualian pada bapak-bapak atau pemuda yang bertugas ronda.

Saat ini kopi dinikmati malam-malam bahkan dini hari, tanpa alasan ronda apalagi pekerjaan. Kopi disesap perlahan hingga dini hari, sedikit demi sedikit dan bertukar obrolan dengan teman entah membahas tentang game online, akademis atau justru masalah perasaan. Ya mungkin lelaki tidak suka berbicara masalah perasaan, tapi berpikir mengenai perasaan mampu membuat seorang lelaki berdiam diri semalam suntuk hanya berteman kopi dan gangguan hati.

Saya adalah pencinta kopi, sejak kecil adalah kegemaran saya memakan biji kopi yang masih wangi baru saja digoreng dengan pasir. Bagi saya rasanya enak, wanginya pun tidak tertandingi. Demikian juga kopi yang dihaluskan kasar menggunakan tangan ala nenek saya, seorang wanita dari sebuah desa kecil di Tuban. Memang banyak ampasnya, sering pula saya meminum kopi bersamaan dengan ampasnya. Enak, hangat dan perut saya tidak pernah sakit karena nyeri lambung. Belakangan saya tahu, meminum kopi tanpa merasa sakit perut mungkin adalah pengaruh dari kopi yang diolah dengan baik dan alami karena saya sering mengalami sakit perut dan lambung yang rewel setelah minum kopi sachet setelah merantau jauh dari Tuban.

Dalam perantauan, kopi selalu identik dengan sekumpulan laki-laki muda yang membuang-buang waktu. Maka saya memilih membawa serta bubuk kopi dari kampung halaman di masa awal perantauan atau meminumnya dari seduhan pantry, dalam kedai-kedai kopi di mall atau minimarket terdekat (dua hal terakhir ini baru saya lakukan ketika saya bekerja). Enak, saya selalu suka momentumnya. Menyesap kopi sembari menulis, membaca buku atau menggambar di coffee shop. Sering sendirian karena kondisi Jakarta membuat saya tidak selalu bisa bertemu setiap saat dengan teman-teman. Itulah waktu pribadi bagi saya.

Menyenangkan. Kopi akan selalu jadi minuman yang istimewa bagi saya, tapi tidak seistimewa itu, special but there’s nothing that special.

Suami bukanlah orang yang suka meminum kopi, dia lebih suka teh, susu atau air putih saja. Karena itu saya tidak pernah benar-benar menikmati secangkir kopi bersamanya. Lebih banyak saya menyesap kopi saat sedang di depan laptop dan menulis.

Suatu hari karena bosan dengan rutinitas kami pergi ke Malang, memarkir kendaraan disebuah tempat wisata di Batu kemudian malah berjalan-jalan keluar tempat wisata. Kami menemukan trotoar yang digelari dengan tikar-tikar, penjual kopi dan minuman lain, bakso, sate dan jagung bakar yang berjajar. Tikar dipenuhi anak muda dan keluarga yang duduk-duduk. Kami mengambil satu tempat kosong. Saya memesan kopi tubruk panas dan suami susu cokelat hangat. Tempat itu sederhana namun pemandangannya luar biasa.

Kami disuguhi pemandangan lampu kota yang terhampar di bawah kami. Kami mulai berbincang dan tertawa tentang segala hal, mengenai hal-hal serius seperti rencana kami kedepan maupun hal-hal absurd seperti betapa kami kadang melakukan perjalanan spontan seperti ini hanya untuk keluar dari rutinitas. Lihat saja, duduk bersila diatas tikar sederhana menghadapi dua gelas minuman dalam hawa dingin kota batu dengan memandangi lampu-lampu rumah penduduk. Kami tertawa dan saya mulai menyesap kopi perlahan yang telah menghangat karena hawa dingin.

Saya tersenyum kecil, menyadari bahwa ini adalah pelarian kami dari aktivitas yang mungkin paling sederhana namun mengantarkan saya dalam mengerti sesuatu. Kopi adalah minuman yang istimewa, sungguh.

Tetapi dia menguarkan aroma dan rasa terbaiknya saat dinikmati bersama dengan orang yang paling penting dalam hidup kita.
Bahkan dalam bentuk yang sesederhana dan seterjangkau segelas kopi tubruk.

7 comments:

  1. Kemaren aku habis lewat banyu urip, lebih parah dr Sidoarjo, warkopnya kayak kompleks perumahan, berderet deret sebelahan, haha,, tp gak kepikiran buat moto.. semoga aja menang ya mbak, hikz mau nangis ngejer deadline..

    ReplyDelete
  2. Kopi memang selalu menjadi teman yang menyenangkan disegala keadaan ya..

    Salam kak Ninda.. :)

    ReplyDelete
  3. Minum kopi mungkin akan terasa biasa biasa saja mbak kalau mengkonsumsinya sendiri dan dengan suasana yang biasa biasa saja, tapi mengkonsumsi kopi juga bisa lebih nikmat kalau kita bisa sesuaikan dengan suasana dan juga ngopi bareng orang penting dalam hidup kita, saya tidak tahu tapi kebanyakan begitu saya rasa kopi itu pengertian sekali ya mbak.

    ReplyDelete
  4. Tapi tetep nyin, meski kafe kopi berjamur dimana mana
    Aku lebih suka kopi seduhan bapakku yang biasane bliau bikin, tapi pas ditinggal pergi bentaran e uda tinggal setengahnya #pelakunya pastilah aku hahhaha

    ReplyDelete
  5. Kita sama-sama penggemar kopi. Benar ya, akan lebih terasa berbeda bila meminum kopi dengan seseorang yang berarti dalam hidup kita.

    ReplyDelete
  6. Pas di surabaya aku nyobain ngopi di 2 kafe. Tunggu reviewnya yaaaa ahay

    ReplyDelete
  7. Aku ga bs minum kopi. Kalo ngafe mesennya ice chocolate :D

    ReplyDelete