Showing posts with label tentang saya. Show all posts
Showing posts with label tentang saya. Show all posts

October 27, 2017

BEHIND THE STORY

pic source: Pixabay.com
Saya terlahir sebagai anak sulung, alias anak pertama. Setelah menjadi anak tunggal selama 4 tahun, lahirlah adik saya. Untuk beberapa lama saya merasa anak orang tua saya yang pertama ya saya ini.

Sampai kemudian saya mendapat cerita bahwa di tahun-tahun sebelum saya lahir, sudah ada kelahiran-kelahiran lainnya sebelum saya. Memang sudah sempat beberapa kali mendengar sejak kecil dari ibu saya sendiri bahwa sebelum saya lahir, beliau sangat menginginkan anak. Sementara tahun demi tahun dilewati dalam pernikahan dan belum ada tanda-tanda positif hamil juga. Segala usaha sudah dilakukan mulai dari minum jamu hingga berkonsultasi ke dokter, namun belum ada kabar bahagia setelah sekian tahun pernikahan.

Namun baru saat saya mulai agak besar, saya mendapatkan cerita itu. Bahwa ibu saya pernah hampir memiliki dua anak sebelum melahirkan saya. Yang satu keguguran dan yang satunya lagi, ada yang bilang sudah meninggal ketika dilahirkan. Dari cerita bapak, yang meninggal ini bayi laki-laki.

October 23, 2017

MENGENANG KEMBALI MASA SULIT

pic source: pixabay.com
Ketemu atau tidur bareng si adek itu pasti jadi bikin ngobrolin masa lalu.
Nggak tahu ya kenapa bisa gitu, yang jelas lebih banyak flashback aja dan bikin ngebandingin kehidupan kita sebelum dan sesudah perubahan besar terjadi.

Kami sering tenggelam lagi dalam kenangan ketika mengingat-ingat masa lalu yang menyadari betapa banyak hal yang tidak lagi berada di tempat yang semula. Barangkali karena waktu, atau memang karena keadaan.

Tidak mungkin manusia terus berada pada mood dan sifat yang seratus persen sama seiring rentang waktu, apalagi keadaan. Sering sekali si adek mengeluh, "dulu bayanginnya pas masa kuliah bakalan diteleponin mami tiap waktu buat ngobrol atau ngingetin makan kayak pas mbak dulu kuliah. Eh taunya cuma bayangan aja. Dulu mikirnya kalau aku udah kuliah diluar kota tiap pulang bakalan dimasakin makanan kedoyanan sama mami, baliknya bawa-bawa sembako segala macem eh ternyata nggak ada masa kayak gitu sama sekali di realita masa kuliahku. Temen-temenku pada ditelepon emaknya, aku kagak ada yang nelepon..."

"Ya gimana ya, ujian masing-masing orang kan beda-beda. Jadi nggak usah iri sama yang kelihatannya keberuntungan orang lain, karena belum tentu kita kuat kalau dapat ujian yang sama kayak orang itu juga." saya ngingetin.

May 29, 2017

SALAH NGGAK, LEBIH SUKA KERJA DARIPADA LIBURAN?


Saya pernah membaca tulisan seseorang yang bisa dibilang cukup terkenal di dunia digital, saya menyukai pemikiran-pemikirannya yang positif tetapi tidak bisa menyepakati banyak hal yang dia utarakan sehubungan dengan posisinya sebagai seorang muslimah. Ah ya sudahlah ya nggak usah dibahas sisi dia yang itu. Sebut saja dia mbak X.

Intinya saya pernah baca tulisan dia, saya lupa dimana... mungkin di buku, mungkin juga di media sosialnya. Pokoknya saya ngerasa yang dia tulis itu saya banget, that's why saya membacanya sampai selesai dan juga memikirkan ulang apa inti tulisan itu.

Salah satu sisi saya yang bisa jadi nggak semua orang tahu adalah, saya suka bekerja.
I love working so much and I have no idea why I love it that much.
Nggak, ini bukan masalah bekerja sesuai passion dan nggak sesuai passion.

March 26, 2017

NIGHT AT THE HOSPITAL


Malam terakhir dirawat di rumah sakit, saya mendadak keinget kejadian masa lalu pas lagi ngobrol sama suami yang malem itu nyempetin jenguk saya bentar padahal lagi jaga.

"Setelah dipikir-pikir sakit yang paling mending selama ini itu pas di Surabaya dulu itu deh,"
"Eh yang kapan itu?" tanya dia sambil nyopot sepatu pantofel.
"Hahaha dulu jaman masih single sik,"
"...." dia diem ngedengerin.

"Jadi waktu itu pas masih on the job training gitu terus nggak tahu deh campuran kecapekan sama stress kayaknya terus langsung tepar masuk rumah sakit karena tipes. Nah habisan masih training jadi meskipun dailynya sibuk banget tapi kan nggak pegang posisi apa-apa, makanya nggak gitu kepikiran juga sih hehe. Lagian kan ada banyak orang, sebagai trainee mah kalau nggak ada bantuan jadi berkurang tapi kan nggak ganggu bikin kewalahan gitu. Beda sama setelah masa-masa itu, sakit apapun nggak bisa nggak kepikiran kerjaan," kata saya sambil ngelihatin ponsel yang sedang dicharge setelah untuk beberapa lama dipakai 'kerja' sambil baringan.

"Maksudnya bukan paling mending sihh, tapi paling nggak kepikiran kerjaan. Pas kena demam tinggi sama alergi di Jakarta juga nggak opname gara-garanya kerjaan nggak bisa ditinggal. Nah ini paginya operasi malemnya tepok jidat gara-gara lupa ada project yang belum kelar, tapi untunglah bisa pakai ponsel doang ngerjainnya,"

December 30, 2016

BERITA AKHIR TAHUN


"Kapan nduk pulang kampung?" tanya tante saya yang paling muda suatu sore melalui messenger. Saya membacanya dan menatap layar ponsel beberapa saat karena belum tahu harus menjawab apa. Sejak mulai merantau saya memang bukan tipe orang yang gampang dan sering pulang seperti beberapa teman saya, waktu kuliah juga begitu. Minggu tenang ya nggak lantas pulang, nggak efisien aja karena pasti di rumah jatuhnya saya juga nggak bakalan belajar karena keasikan janjian sama temen atau aktivitas bareng keluarga.

Pas awal kerja menikmati hari libur aja susah banget ada aja halangannya, ngambil cuti juga nggak bisa banyak-banyak. Padahal jarak kota tempat awal kerja dengan rumah nggak jauh-jauh amat, bisa ditempuh hanya sekian jam perjalanan aja tapi karena badan capek dengan aktivitas rutin plus nggak punya energi lebih untuk meladeni aneka konflik di rumah maka saya memutuskan untuk lebih sering menghabiskan waktu libur atau cuti di Malang bareng si adek yang saat itu masih kuliah.

December 1, 2016

WEEKEND DARI MASA KE MASA


Apa bagian yang paling kamu suka dari weekend? Liburannya kah atau family time-nya atau apa?
Weekend bagi saya selalu spesial sejak kuliah karena sejak kuliah itu pertama kalinya saya mengenal libur di hari sabtu dan minggu.

Secara ya sejak SD, SMP dan SMA... namanya hari sabtu itu ya masuk sekolah seperti biasa. Minggunya baru libur. Hari minggu selalu jadi hari sakral gitu, biasanya apa saja hal-hal yang nggak boleh saya lakukan ketika hari lainnya, hari minggu mendadak boleh... mulai dari begadang, nonton tv seharian dan bengong-bengong cuma baca novel aja semuanya boleh. Bahkan izin-nya mulai diberikan ketika sabtu sore kelar sekolah dan ketika saya nggak ada les atau apapun.

Jarang banget saya mau jalan-jalan keluar pas hari minggu, kalaupun ada teman-teman yang ngajakin maunya hari sabtu ajalah kelar sekolah soalnya capek... karena kayaknya waktu saya selama weekday abis buat sekolah, les dan ekstrakurikuler. Terutama jum'at yang udah seharian sibuk eh ada pramuka pula, capeknya numpuk-numpuk. Rindu banget lah sama kegiatan delosoran di rumah doang seharian nggak ngapa-ngapain. Itu kan bagian paling menyenangkan dari hari libur? Saya sampek melankolis yang gimana gitu kalau udah minggu sore karena tinggal hitungan jam liburnya kelar dan besok senin... upacara lagi, sibuk lagi urusan sekolah nggak ada habisnya. Lelah.

November 16, 2016

SATU KOPI DALAM SETIAP MINGGU


Why you love coffee so much?
"I just love it for no reason," saya mengedikkan bahu menjawab pertanyaan suami. Saking seringnya saya memilih kopi sebagai minuman yang saya pesan dimanapun kami sedang makan atau jalan ke suatu tempat.

Karena memang begitulah, seperti perasaan jatuh cinta yang kita tidak tahu apa pemicunya, apa sebab utamanya tetapi demikian menarik hingga kita tidak bisa lepas dari cengkeraman perasaan itu. Bukan karena saya terlalu romantis dalam menyusun kata untuk mendeskripsi rasa suka pada jenis minuman, tapi ayolah.... siapa sih yang bisa menjelaskan dengan baik dan rinci mengenai mengapa mereka menyukai sebuah menu makanan atau macam-macam minuman? Kita menyukainya hanya karena kita suka ya kan?

Mungkin karena rasanya terasa pas dan cocok di lidah saya, mungkin alasannya memang hanya sekadar itu.

Mulai kapan rasa suka saya pada kopi bermula, sudah kelewat lama sampek saya sudah lupa sejak kapan. Bahkan jaman ngiket tali sepatu sendiri aja belum bisa, masih belum lagi sekolah saya sudah doyan kopi. Mungkin karena nenek dan ibu saya sama-sama gemar minum kopi dan mereka selalu menyeduh kopi setiap hari, cuma beda di jamnya saja. Nenek saya minum kopi ketika pagi, kadang juga sore sementara ibu saya lebih memilih kopi menjadi minumannya selepas kerja di siang hari.

Kopi tidak pernah absen dari meja di dapur kami dan setiap kali diseduh aromanya selalu menguar kemana-mana, bahkan wanginya saja sudah bikin naksir. Nenek saya juga mengolah kopi sendiri mulai dari memasak kopi dengan cara disangrai kemudian dihaluskan dengan menumbuk memakai lumpang dan alu besi. Dalam ingatan saya, kopi yang paling enak ya yang diolah sendiri seperti itu karena teksturnya yang sedikit kasar dan bila diseduh meninggalkan ampas. Ampas kopi yang diolah sendiri rasanya enak, bahkan saya suka mengunyahnya setelah kopi habis di dasar gelas.

Iya, saya suka kopi tapi saat ini tehlah yang banyak menggantikan hari-hari saya meminum kopi sejak saya memulai proyek minum kopi seminggu sekali setelah cukup sukses dengan proyek pribadi yang sebelumnya: dua hari secangkir kopi.

Tea could calms me down.
Di sore hari yang saat ini lebih sering hujan ketimbang cerah. Saya jadi semakin menyukai teh hangat, racikan teh favorit saya saat ini adalah teh Sariwangi yang dicampur dengan crimer tanpa gula tambahan dan diseduh dengan air panas. Tentu, saya tetap harus menjaga kepekatannya agar sewarna teh yang sedang, tidak terlalu hitam biar tetap sehat.

Paksu yang awalnya menyarankan pergantian minum kopi yang lebih jarang karena dia mengkhawatirkan kesehatan saya yang terlalu sering minum kopi hampir tiap hari. Yah, saya tidak bisa melewatkan waktu tanpa meminum kopi memang sih. Tapi dengan menguranginya perlahan, hingga saat ini nggak masalah.
I can live with it :)


November 9, 2016

OBROLAN RANDOM


Hai hai.
Saya kaget nemuin komen seorang teman blog dari lama saya, Feli yang bingung mana sih blog utama saya? Terus kok bisa saya update semuanya giliran?

Jadi tersanjung baca komentar dari Feli ini, karena meskipun blognya dia jarang update tapi bisa saya maklumi karena aktivitas dia sebagai ibu dua anak tentunya lebih bejibun daripada saya saat ini, masih nyempetin nulisin blognya pula.

Well teman-teman mungkin juga tahu kalau saya memiliki beberapa blog selain blog ini, semuanya jalan dan saya berusaha sebaik mungkin untuk update secara bergiliran dan tetap menulis dengan sepenuh hati tanpa adanya blog yang terabaikan. Ya pengennya sih gitu meskipun faktanya saya nggak selalu bisa update dengan rutin sesuai jadwal karena adanya hal-hal yang ternyata lebih urgent untuk dikerjain duluan. Namanya juga manusia, bisa berencana dan berusaha menepati apa yang dikerjakan sesuai rencananya tapi akhirnya Allah jugalah yang menentukan bahwa kita harus memilih mana yang lebih diprioritaskan dari hal-hal yang kita ingin lakukan.

Bukan berarti nggak ada ide lho, panjang bener deh daftar ide topik-topik yang sedianya sih pengin saya tulis tapi kemudian malah nggak jadi-jadi karena berbagai sebab. Kadang karena topik lain yang lebih mendesak untuk ditulis karena menanggapi fenomena yang sedang terjadi saat ini atau pengen curcol hal lain haha :D Gitu ada waktu eh malah keinginan buat nulis topik yang sudah saya list itu hilang.
Ah lagi-lagi namanya juga manusia.

Ini minggu-minggu terakhir saya membagi waktu weekend dan weekday antara dua kota, sebabnya pelatihan yang saya ikuti sudah hampir selesai. Tinggal nunggu ujiannya aja sih yang belum tahu kapan meskipun persiapannya kayaknya masih ala-ala gini.

Di kota sebelah saat masa pelatihan saya ngekos lagi, tinggal bareng adek. Agak-agak ngangenin gitu ya masa-masa ngekos, setelah sudah berhenti ngekos sejak bulan Februari lalu. Udah hampir setahun lho nggak kerasa, udah hampir setahun saya pergi dari Jakarta.

Ngekos bareng adek dalam jangka waktu lama ya lucu juga, udah lama kita nggak tinggal bareng lama-lama sampek lebih dari sebulan sejak saya merantau untuk kuliah. Dia lagi konsentrasi pada usaha dietnya, dia minta saya nyemangatin terus katanya. Usaha diet beberapa bulan terakhir berhasil bikin berat badannya turun 10 kg, keren yaa... apa kabar saya yang mantep berat badan nggak turun-turun lagi hahaha.

Dia sedang diet rendah kalori dan tips diet rendah kalori dari si adek dengan nggak banyak makan gorengan, masih makan sih tapi jauh dikurangin daripada dulu, dulunya dia nggak bisa makan tanpa kerupuk sekarang udah bisa-bisa aja. Gula diganti jadi Tropicanaslim, merk mie instan favorit diganti stok Tropicanaslim yang ramah diet tapi tetep enak. Cemilannya juga ganti jadi ubi bakar. Komitmennya dapet banget, saya jadi pengin niru. Habisan berat badan dulu kayaknya pas masih ngantor di Surabaya masih 58, sekaran melarnya banyak banget LOL. Kudu komitmen diet beneran ini :D

October 23, 2016

SISTER STORY: ATM DAN BANDARA

Suatu hari di bandara Soekarno - Hatta Cengkareng, ketika saya masih tinggal di Jakarta dan sedang mengantar si adek untuk balik ke Malang dengan cara perjalanan via pesawat ke Surabaya yang kemudian akan dilanjutkan dengan naik travel ke Malang seusai liburannya bareng saya. Kami sedang duduk di sebuah outlet yang menjual kue sus dengan isi bermacam-macam.

Kami sama-sama penggemar kue sus isi keju dari outlet tersebut dengan filling kejunya yang lembut dan berlimpah. Kejunya creamy tapi nggak bikin eneg dan rasanya rich banget. Sementara rasa cokelat dan cappuccino sebagai filling menjadi favorit kami yang berikutnya.

Pada semua perjalanan yang melibatkan pesawat dan bandara, saya lebih suka berangkat lebih awal untuk meminimalisir resiko terlambat karena berbagai sebab, yang paling fatal menjadi masalah di ibu kota tentunya adalah kemacetan. Nggak lucu rasanya tiket pesawat seharga ratusan ribu dan perjalanan yang sudah benar-benar diperhitungkan dan direncanakan kemudian harus batal dan hangus. Sayang seribu sayang.

Ketika saya masih tinggal di Jakarta, secara periodik si adek memang datang berkunjung. Kadang untuk cuma main dan liburan, kadang kebetulan pas dia libur kuliah saya jatuh sakit di perantauan. Lumayan juga ada dia yang bisa beliin saya makanan dan obat hehe. Tapi tiketnya memang bikin bangkrut banget bayarinnya sih haha.

Sedang duduk sambil menunggu dekat-dekat jam boarding, si adek pamit mau menyatroni ATM yang letaknya tidak jauh dari outlet untuk melakukan tarikan tunai. Saya mengangguk, tinggal di tempat dengan ransel dan tas dia yang ditaruh di kursi sebelah saya. Mas-mas pembuat kue sus memanggil nama saya karena pesanan saya sudah siap, saya menghampiri dia sebentar dan kembali duduk di tempat semula saat si adek kembali dan nyamperin saya, kemudian berbisik.

"Mbak itu ambil uangnya caranya gimana ya? Kok ATMnya beda nggak ada tombolnya," kata dia malu, "daripada malu-maluin aku balik aja lah,"

Sontak saya menahan tawa dan menjelaskan kepada dia bahwa mesin ATMnya sudah canggih dengan teknologi masa kini, yakni touch screen jadi nggak perlu tombol lagi. Saya minta dia untuk kembali ke mesin dan mengulang transaksi tapi dia menolak, nanti saja katanya sekalian mau ke ruang tunggu.

Saya jadi keinget masa-masa awal kuliah dimana saya nggak tahu bagaimana cara transfer uang via ATM. Jangankan transfer ya, ATM saja nggak punya pas awal kuliah. Namanya juga anak baru lulus SMA kota kecil, lihat orang punya kartu ATM aja kayaknya keren. Iya tahu norce banget haha. Memang waktu itu belum era jayanya alat pembayaran online seperti dompetku.com, sms banking atau internet banking. Mungkin sudah ada penggunanya sih, cuma saya belum melek bener aja kali. Jadi kalau mau transferin saya, si mami harus nitip ke adik sepupu saya yang kuliah di fakultas yang sama beda jurusan. Saya kudu janjian dulu sama dia kalau mau ambil uang. Repot sih, apalagi kalau jadwal kuliahnya bener-bener padet. Jadi nggak bisa ketemu kan.

Untung beberapa bulan kemudian saya buka tabungan dan jadi punya kartu ATM, nggak usah nebeng-nebeng lagi.

October 17, 2016

SEPATU YANG COCOK

Saya bukan tipe orang yang merasa harus ngotot mengikuti mode demi bisa terlihat fashionable. Toh saya juga orangnya nggak fashionable banget juga, dalam berpakaian yang paling penting bagi saya adalah bahwa saya selalu pengin merasa nyaman. Cukup nyaman untuk beraktivitas seharian mengenakan baju yang sedang saya pakai, cukup nyaman dengan baju yang longgar untuk tidak khawatir badan saya nyeplak saat memakai sesuatu dan mungkin bakalan dilihatin orang-orang. Pendeknya saya nggak terlalu banyak mikir-mikir baju keluar yang mau saya pakai karena kisaran nyaman saya sudah di baju yang itu-itu aja. Saya bahkan lebih ribet kalau pengin membeli baju untuk di rumah daripada baju untuk bepergian.

Jika ada dua hal yang saya benar-benar memilih dengan perlahan sebelum membelinya dan bahkan rela saja menunggu berbulan-bulan atau bahkan hitungan tahun untuk membeli benda tersebut, biasanya itu berkisar antara tas dan sepatu. Saya bukan kolektor tas sih, tas yang saya miliki jumlahnya masih wajar dan masih dibawah 10 buah, kesemuanya memiliki gilirannya masing-masing. Saya bergiliran memakai tas-tas itu dan berusaha tidak ada satu pun yang terlalu lama dipakai atau terlalu lama berdiam di lemari.

Antara tas dan sepatu, maka yang paling selektif adalah ketika saya ingin membeli sepatu. Berbeda dengan tas yang biasanya saya hanya memikirkan kualitas bahan dan masa pakainya saja, berbeda dengan sepatu yang kriteria pemilihannya lebih ribet lagi.

Belum lama ini, ketika sedang naik motor bersama adek dan dia sedang berjuang melajukan motor di tengah kemacetan, berusaha mencari celah untuk terbebas dari kemacetan jalan raya. Karena bergesekan dengan trotoar di pinggir jalan dengan keras, sepatu flat saya menghantam trotoar dengan kasar. Sakit banget untuk kaki saya dan juga tidak baik untuk sepatu flat saya tersebut.

Sampai di kos si adek, saya segera memeriksa sepatu saya dan betapa kagetnya ketika sepatu milik saya tersebut sobek dibagian sampingnya padahal terbuat dari karet. Padahal sepatu itu adalah bagian dari seserahan hari pernikahan saya yang diberikan oleh suami, padahal juga sepatu crocs seperti milik saya itu sudah susah untuk didapatkan lagi dari counternya di mall-mall besar.

Saya sudah pernah cerita sebelumnya bahwa berbulan-bulan terakhir ini sangat sulit bagi saya untuk mendapatkan sepatu crocs, padahal crocs adalah brand sepatu saya yang paling favorit. Kalau ada di mall dan kebetulan ketemu, pasti ukurannya serba nggak cocok. Iya saya belum tahu sebelumnya bahwa sepatu crocs favorit saya bisa saya dapatkan di toko mapemall ternyata.

Jarang di mall-mall yang punya counter crocs saya bisa mendapatkan ukuran yang sesuai dengan ukuran kaki saya, apalagi model yang saya inginkan. Jarang banget-banget. Toko mapemall membantu saya untuk bisa memilih sepatu crocs dan membelinya secara online tanpa resiko barang tidak sampai dan saya dikirimi produk yang ternyata nggak original dan beda dengan yang dijual di counter.

Sepatu yang cocok itu nggak mudah didapat dengan brand dan size yang paling enak untuk kaki. Saya pernah terjebak beli sepatu crocs secara online, penjual mengklaim dia hanya menjual produk original model dan ukuran yang sesuai dengan saya ada, tapi yang datang ke saya justru produk kw berupa sepatu yang terbuat dari plastik, enteng dan bikin kaki lecet. Pengalaman ini nggak enak banget dan saya kapok belanja online sembarangan tapi dapatnya produk yang nggak worth gitu, mending di Mapemall.com ajalah yang jelas.


October 15, 2016

BACA ULASAN/REVIEW SEBELUM NONTON FILM

"Pengin nonton tapi nonton apa ya?" tanya Paksu ketika saya sedang di rumah. Iya saat ini setelah saya mulai pelatihan di hari kerja di kota lain dan kembali bersama dia pada saat weekend, kami sering menghabiskan waktu kala weekend dengan jalan-jalan nonton berdua. Berbeda dengan sebelumnya, kami justru lebih sering jalan bareng saat hari kerja karena lebih minim kemacetan lalu lintas dan lebih mudah mendapatkan tempat duduk strategis di bioskop karena pada saat hari kerja mall masih cenderung sepi di luar jam makan siang dan jam pulang pekerja. Sementara jam kerja dia yang nggak sama dengan jam kerja pekerja kantoran memungkinkan kami dating justru disaat jam-jam kerja kebanyakan orang.

"ngg, ya film apa, dong?"saya bertanya balik, saya sendiri lebih seneng makan bareng dan berlama-lama di toko buku bareng dia sih daripada nonton film sekadarnya. Maksud film sekadarnya sih jenis film yang saya nggak pengin pengin banget untuk nonton.

Diantara kami, suami memang lebih suka menonton film karena ketertarikannya pada visual yang lebih dibanding saya yang baca buku isi tulisan doang saja bisa anteng berjam-jam. Memang ketertarikan untuk film beda dengan saya yang menentukan pengin nonton sebuah film cuma karena sekadar pengin aja dan lebih sering minat pada film-film indonesia.

Saya sih seneng-seneng aja nonton film indonesia meskipun lebih banyak nggak sesuai ekspektasi awal sih haha. Sementara paksu lebih suka nonton film-film luar, itupun dia biasanya browsing dulu film-film dengan rating yang sudah bagus dari situs peranking film. Tujuannya untuk menghindari film-film yang terlihat bagus di packaging dan trailer tapi berakhir mengecewakan ketika kami beneran nonton, buat dia bakalan kerasa nggak worthed dan sayang uang buat nonton bioskopnya kalau filmnya super bikin zzzzz.

Memang sih selama ini pak suami nggak pernah merasa keberatan untuk menemani saya nonton film-film indonesia, secara ya saya penggemar film indonesia. Cuma saya kesian dan jadi nggak enak aja saat nonton bareng dia kemudian dia ketiduran dalam bioskop karena filmnya membosankan buat dia.

Karena itu penting juga sih untuk banyak mencari tahu dan membaca-baca ulasan film seperti yang di-update informasi film Breaktime biar punya gambaran duluan mengenai film yang akan kita tonton baik film lokal maupun mancanegara. Lebih baik baca-baca dulu untuk menghindari kekecewaan setelah usai menonton film bersangkutan daripada beneran kecewa karena merasa film yang ditonton nggak worthed.

Sudah lama saya memiliki akun di Breaktime tapi jarang-jarang ditengok dan dibaca-baca, biasanya hanya setelah dapat surel untuk member saja, lebih seringnya sih resep masakan haha. Tapi ternyata saya perlu sering-sering nengokin akun Breaktime saya atau sekadar baca-baca update informasi di dalamnya terutama untuk segmen movie karena update informasi film Breaktime ternyata cukup realtime.

Di situs Breaktime, dalam segmen movienya kita bisa membaca ulasan dari film-film yang saat ini sedang diputar di bioskop, juga film-film coming soon yang belum rilis menghiasi slot tayang bioskop tanah air.


Karena Breaktime sudah mengulas film Miss Peregrine's Home for Peculiar Children saya jadi tertarik baca ulasannya, eh kemudian pengin nonton film itu. Film ini disebut-sebut sebagai film live action terbaik karya Tim Burton. Sementara saya penggemar karya Tim Burton sejak film pertamanya yang saya tonton waktu saya kecil: Edward Scissorhand. Menurut situs rating film, Miss Peregrine's Home for Peculiar Children juga punya rating yang bagus diatas angka 7 dikit. Yang jelas berhasil bikin saya penasaran pengin nonton sih.

October 11, 2016

INTERNET DAN SEPASANG CINCIN PERAK

Ada yang bilang bahwa manusia bisa hidup tanpa makan seharian tapi akan sangat gelisah kalau tidak ada listrik dan jaringan internet. Memang opini itu disampaikan dalam meme internet yang entah sudah di share keberapa kalinya dan siapa penggagasnya sudah tidak ketahuan lagi siapa, tapi ya memang opini yang mirip dan serupa sering kita temui kok. Tidak cuma meme, kadang juga video kreatif yang diparodikan oleh anak-anak muda.

Iya kita sekecanduan itu pada koneksi internet, bahkan saya pun rasanya tidak bisa menjalani hari tanpa mengecek inbox email dan notifikasi sosial media. Rasanya itu sudah jadi bagian dari rutinitas, serutin bangun tidur dan tangan meraba-raba kemana ponsel terletak untuk melihat jam berapa saat itu bukannya malah menengok pertama kali pada jam dinding.
Iya?
Kalau saya iya sih :p

Hari ini, segala hal tidak berjalan seperti yang saya rencanakan, penginnya bangun pagi langsung mandi dan mengerjakan cicilan tulisan selain membaca buku teks dari lembaga pelatihan tapi semuanya berantakan ketika saya baru saja selesai mandi, bersiap duduk menghadapi layar kotak komputer portabel dan mendadak lampu kamar mati. Iya saya suka menyalakan lampu ketika harus menulis karena berada di tempat kurang cahaya rupanya kurang baik akibatnya bagi mata saya yang saat ini sedang berkurang kualitas penglihatannya. Pada benda-benda jauh rasanya jadi blur atau double. Dengan riwayat kesehatan mata yang nggak pernah nggak bagus pada sekian tahun terakhir, ini cukup meresahkan saya. Sebelum-sebelumnya memang saya sering menulis dengan cahaya alami yang terdapat di dalam rumah. Saya rasa itu salah satu penyebabnya.

Setelah saya tunggu berjam-jam, lampu masih juga mati. Saya mulai gemes pengin nguyel-nguyel petugas PLN-nya karena hari sudah siang dan to do list saya sama sekali belum jalan. Padahal waktu saya pendek cuma sampai sore saja untuk mengerjakan itu semua.

Jadi kemudian inilah, berbekal tas ransel berisikan laptop, planner dan dompet saya pindah ke cafe dalam mall. Demi mengerjakan satu per satu to do list yang belum juga sempat dibereskan sedari pagi-pagi tadi. Disela pusing dan terasa buntu di kepala, saya melewatkan waktu dengan browsing model cincin tunangan perak di MatahariMall. Iya jenis orang masa kini banget saya, lagi uninspired larinya ke browsing-browsing internet juga. Cuma beda aja situsnya yang diubek, ke e-commerce window shopping siapa tahu khilaf shopping beneran. LOL.

Ngapain kok nyarinya model cincin tunangan perak di MatahariMall? Padahal saya kan nggak lagi mau tunangan?

Ehm, saya pernah bercerita bahwa hingga saat ini saya tidak memakai cincin pernikahan kemana-mana. Iya sampai saat ini. Satu sisi saya merasa lebih nyaman bepergian tanpa cincin nikah karena sederhananya ya itu cincin emas beneran bukan cincin dari permen anak-anak yang kalau mrosot lepas dari jari bisa langsung beli lagi 10. Sementara cincin nikah kami cuma satu, buat saya doang dan kegedean. Mau dijual beli lagi yang pas tuh sayang sama kenangannya, plus saya juga parnoan pakai perhiasan emas kemana-mana.

Yang aman bagi kami adalah dengan membeli cincin perak yang sepasang, dengan begitu saya maupun suami bisa sama-sama pakai cincinnya terus lebih sreg di hati aja kalau mau dibawa kemana-mana. Kami nggak punya banyak waktu juga untuk survey dari toko ke toko karena itu lebih enak browsing-nya di e-commerce. Pokoknya sepasang, dan modelnya sih dia pasrah aja sama selera saya. Nggak banyak e-commerce yang jualan model cincin sepasang sebanyak yang ditawarkan MatahariMall, jadi bisa lebih leluasa sih milih-milihnya.

Ini model yang saya lagi taksir sementara ini, masih milih-milih juga sih. Worth to buy banget lho ini cuma 400ribuan sepasang tapi nggak kelihatan murce. Model model cincin tunangan perak ini juga cukup elegan nggak over kalau dipakai seusia kami.

Teman-teman pakai cincin nikah juga? Sepasang atau gimana?

July 31, 2016

TENTANG RELASI SAYA DAN KOPI



“ Lho kok ada warung kopi lagi,” suami berkomentar kaget saat menyetir menuju rumah di Surabaya Barat. Saya menatap melewati jendela kaca mobil, mengawasi warung kopi baru yang berdiri megah di pinggir jalan menuju rumah.

Kekagetannya adalah sebuah hal yang wajar mengingat semenjak menikah dan kami tinggal di Surabaya barat semakin banyak saja warung-warung kopi yang berjajar di pinggir jalan. Bahkan sebelum dekat dengan wilayah rumah pun, warung-warung kopi seperti ini telah lama menjamur. Perhatikan saja di daerah Banyu urip yang dahulunya adalah jalan kecil yang padat dengan kendaraan lalu lalang dan pedagang kaki lima.

Dahulunya daerah itu adalah sisanya adalah sungai yang cukup dalam sebelum pembangunan pemerintah membuat area sungai menjadi perlebaran jalan sehingga jalan tersebut masing-masing menjadi jalan satu arah.

Perlebaran jalan itu nampaknya tidak berdampak terlalu signifikan, justru semakin banyak pedagang kaki lima dan pasar kaget yang menggelar dagangannya di pinggir jalan membuat jalan yang sebenarnya lebar menjadi sempit. Disamping itu berdiri pula warung-warung kopi yang menyediakan kopi panas dan aneka minuman lain yang bisa dinikmati bersama mie instan dan gorengan yang juga menjadi menu warung.

Dulu di jalan dekat menuju rumah ada sebuah warung kopi yang saban hari ramai terus dikunjungi pembeli. Bangunannya temporer seperti tenda nikahan, dibawahnya terdapat jajaran meja-meja panjang dan anak muda yang menikmati secangkir kopi sambil mengobrol sesame mereka. Ada juga yang membiarkan cangkir kopinya dingin begitu rupa tanpa menyesapnya sedikitpun, mata menekuri layar ponsel dengan wajah serius, mungkin sedang menikmati fasilitas wifi.

Warung kopi 24 jam dengan fasilitas wifi sementara harga kopi tentu saja jauh selisihnya dibandingkan dengan kedai kopi yang erat branding produknya dengan lokasi di mall-mall dan menjadi lokasi rutin berkumpulnya eksekutif muda. Harga kopi bisa membeli semangkuk bakso jagalan dengan porsi yang bikin kenyang sampai bosan. Itulah alasannya mengapa kaum pria terutama para anak-anak muda kerasan bertahan berjam-jam nongkrong di tempat tersebut.

“Rame ya?” kata saya, berceletuk saat pertama kali melihat tenda tersebut. Saat itu dini hari dan suami baru saja menjemput saya dari bandara setelah salah satu perjalanan melelahkan dari Jakarta karena urusan pekerjaan dan kami masih pasangan muda yang menjalani long distance marriage karena pekerjaan.

“Ya biasa gitu, lihat saja kalau ramai terus nanti pasti ganti jadi bangunan setengah permanen kemudian full permanen,” komentar suami.

Beberapa bulan kemudian setelah percakapan kami, benar saja warung kopi tenda telah menjadi setengah permanen. Dan saat ini disebelah-sebelahnya berdiri warung kopi serupa, ada yang menawarkan konsep kafe terbuka dengan menyediakan menu-menu makanan dan yang belum lama buka bertempat di sebelah gang masuk tempat tinggal kami. Warung kopi yang ini kecil saja dengan bangunan warung yang khas dari tripleks dan kayu, konsep gratis wifi dan menyediakan menu jagung bakar yang dibakar langsung setiap ada order di sebelah warung.

Konsep kopi sudah lama bergesar, dulu kopi dinilai sebagai minuman yang diseduh untuk menemani bapak-bapak meronda dan diseduh saat pagi untuk menemani membaca Koran. Kadangkala diseduh saat sore ketika mulai mengantuk dan kita sudah tidak lagi berkonsentrasi pada meeting yang kita hadiri atau pekerjaan yang sedang kita tangani. Sangat jarang orang yang menyantap kopi saat malam hari karena kebanyakan orang meyakini kita akan susah tidur karenanya, tentu saja pengecualian pada bapak-bapak atau pemuda yang bertugas ronda.

Saat ini kopi dinikmati malam-malam bahkan dini hari, tanpa alasan ronda apalagi pekerjaan. Kopi disesap perlahan hingga dini hari, sedikit demi sedikit dan bertukar obrolan dengan teman entah membahas tentang game online, akademis atau justru masalah perasaan. Ya mungkin lelaki tidak suka berbicara masalah perasaan, tapi berpikir mengenai perasaan mampu membuat seorang lelaki berdiam diri semalam suntuk hanya berteman kopi dan gangguan hati.

Saya adalah pencinta kopi, sejak kecil adalah kegemaran saya memakan biji kopi yang masih wangi baru saja digoreng dengan pasir. Bagi saya rasanya enak, wanginya pun tidak tertandingi. Demikian juga kopi yang dihaluskan kasar menggunakan tangan ala nenek saya, seorang wanita dari sebuah desa kecil di Tuban. Memang banyak ampasnya, sering pula saya meminum kopi bersamaan dengan ampasnya. Enak, hangat dan perut saya tidak pernah sakit karena nyeri lambung. Belakangan saya tahu, meminum kopi tanpa merasa sakit perut mungkin adalah pengaruh dari kopi yang diolah dengan baik dan alami karena saya sering mengalami sakit perut dan lambung yang rewel setelah minum kopi sachet setelah merantau jauh dari Tuban.

Dalam perantauan, kopi selalu identik dengan sekumpulan laki-laki muda yang membuang-buang waktu. Maka saya memilih membawa serta bubuk kopi dari kampung halaman di masa awal perantauan atau meminumnya dari seduhan pantry, dalam kedai-kedai kopi di mall atau minimarket terdekat (dua hal terakhir ini baru saya lakukan ketika saya bekerja). Enak, saya selalu suka momentumnya. Menyesap kopi sembari menulis, membaca buku atau menggambar di coffee shop. Sering sendirian karena kondisi Jakarta membuat saya tidak selalu bisa bertemu setiap saat dengan teman-teman. Itulah waktu pribadi bagi saya.

Menyenangkan. Kopi akan selalu jadi minuman yang istimewa bagi saya, tapi tidak seistimewa itu, special but there’s nothing that special.

Suami bukanlah orang yang suka meminum kopi, dia lebih suka teh, susu atau air putih saja. Karena itu saya tidak pernah benar-benar menikmati secangkir kopi bersamanya. Lebih banyak saya menyesap kopi saat sedang di depan laptop dan menulis.

Suatu hari karena bosan dengan rutinitas kami pergi ke Malang, memarkir kendaraan disebuah tempat wisata di Batu kemudian malah berjalan-jalan keluar tempat wisata. Kami menemukan trotoar yang digelari dengan tikar-tikar, penjual kopi dan minuman lain, bakso, sate dan jagung bakar yang berjajar. Tikar dipenuhi anak muda dan keluarga yang duduk-duduk. Kami mengambil satu tempat kosong. Saya memesan kopi tubruk panas dan suami susu cokelat hangat. Tempat itu sederhana namun pemandangannya luar biasa.

Kami disuguhi pemandangan lampu kota yang terhampar di bawah kami. Kami mulai berbincang dan tertawa tentang segala hal, mengenai hal-hal serius seperti rencana kami kedepan maupun hal-hal absurd seperti betapa kami kadang melakukan perjalanan spontan seperti ini hanya untuk keluar dari rutinitas. Lihat saja, duduk bersila diatas tikar sederhana menghadapi dua gelas minuman dalam hawa dingin kota batu dengan memandangi lampu-lampu rumah penduduk. Kami tertawa dan saya mulai menyesap kopi perlahan yang telah menghangat karena hawa dingin.

Saya tersenyum kecil, menyadari bahwa ini adalah pelarian kami dari aktivitas yang mungkin paling sederhana namun mengantarkan saya dalam mengerti sesuatu. Kopi adalah minuman yang istimewa, sungguh.

Tetapi dia menguarkan aroma dan rasa terbaiknya saat dinikmati bersama dengan orang yang paling penting dalam hidup kita.
Bahkan dalam bentuk yang sesederhana dan seterjangkau segelas kopi tubruk.

July 26, 2016

MASA SULIT SAAT MERANTAU


"Apa rasanya jauh dari rumah?" 
"Emmm....."

Mungkin teman-teman yang lama merantau juga sering mendapat pertanyaan serupa dari keluarga atau teman-teman yang tinggal, menempuh pendidikan dan bekerja tidak jauh dari rumah.

Agak bingung menjawab pertanyaan seperti itu karena pada dasarnya saya juga sudah lumayan lupa apa yang sedang saya rasakan saat harus jauh dari rumah dan merantau untuk pertama kalinya. Masa itu saya sudah ngeblog meskipun tidak rutin dan sering karena aktivitas blogging saya ditentukan oleh kapan kunjungan saya yang berikutnya ke warnet. Jadi ya nggak ada dokumentasi curcolnya *LOL.

Pertama kali harus tinggal di kota orang adalah saat saya hendak ikut tes penerimaan mahasiswa baru universitas negeri. Saya bimbingan ke Surabaya untuk persiapan ujian ini, saya juga tinggal di Surabaya hingga tes penerimaan usai. Saya nggak begitu ingat jelas mengapa bimbingan persiapan ujian seperti ini harus keluar kota, padahal di kota saya juga banyak bimbingan-bimbingan belajar untuk persiapan tes ini. Tinggal pilih. Tapi ternyata saya nggak sendiri tuh. Banyak anak-anak lain yang bahkan daerah asalnya lebih jauh dari saya tapi memilih kota tempat bimbingan belajar yang sama.

Mungkin karena Surabaya adalah salah satu kota favorit untuk melanjutkan pendidikan, jadi mengukur kemampuan kita disini lebih akurat untuk perkiraan dibandingkan dengan kota asal dalam try out-try out. Ini penting untuk mawas diri juga, apalagi sasaran kita adalah kampus dan jurusan favorit yang satu bangkunya bisa kita peroleh jika kita mampu mengungguli sekian banyak peserta ujian lain.

Saat itu saya mungkin belum merasakan yang sebenar-benarnya menjadi perantai. Mungkin karena bimbingan hanya berlangsung sekian bulan dan karena kebanyakan teman-teman di SMA memilih kompleks bimbingan yang sama sehingga nggak begitu berasa kesulitannya.

Rasa sebenar-benarnya jadi perantau saya rasakan ketika saya sudah masuk kuliah di bulan-bulan semester pertama dan bulan puasa. Entah karena salah makan atau badan memang sudah tidak enak, menjelang pukul dua belas saya muntah-muntah di kamar mandi mengeluarkan semua makanan yang saya konsumsi pada saat sahur. Tak cukup dengan itu saya juga diare sehingga badan lemas luar biasa. Saya kemudian memutuskan untuk tidak puasa dulu. Makanan apapun terasa nggak enak.

Pengurus rumah kos membantu mengantar saya ke dokter terdekat, tapi saat ke tempat praktek dokternya sedang tidak ada di tempat. Ke dokter lain juga jauh, kondisi saya tidak memungkinkan. Nggak bisa jauh-jauh dari kamar mandi lah pokoknya. Baru saat kunjungan berikutnya beliau ada di tempat dan saya segera mendapat penanganan juga obat. Saya keracunan makanan, menurut beliau.

Saya terbayang menu sahur terakhir yang dingin dan langsung bikin perut saya bereaksi nggak enak, saya nggak sendirian mengalaminya, teman kos yang barengan beli makan juga sakit serupa. Kapok beli makan di warung tersebut lagi padahal sebenarnya masakannya enak.

Waktu itu ponsel baru bisa sms, telepon, mms dan aplikasi chatting sederhana saja belum seperti sekarang yang perkembangannya serba memudahkan. Bahkan konsultasi kesehatan online, cari dokter dan rumah sakit terdekat juga membuat janji dengan dokter bisa dilakukan melalui situs dan aplikasi Konsula.com. Nggak perlu kecele lagi karena datang tapi dokter sedang tidak ada ditempat. Layak coba banget ini, terutama bagi para perantau yang tentunya harus mengurusi diri sendiri.

Kalau menurut teman-teman masa paling nggak enak kala merantau apa? :)


July 15, 2016

KAMERA PONSEL DAN KENANGAN FOTO TERAKHIR


Kamera dan Ponsel Berkamera Pertama

Saya pernah memiliki kamera dulu, masih analog dan sebab kehadirannya adalah karena reward dari mami saya untuk lulus SMP dengan nilai yang baik dan tidak repot saat harus mendaftar ke SMA. Itulah kamera pertama saya, sebelum saya menyadari bahwa kamera yang saya gunakan itu ternyata tidak begitu terampil saya pakai. Cahaya yang tidak karuan konsepnya dan objek yang sering kabur sudah sering menjadi masalah utama saya. Saya senang memotret saat pergi ke tempat baru bersama teman-teman. Tapi yang bikin saya gondok adalah hasil foto yang susah payah dicetak dengan uang tabungan sendiri (yang roll fotonya juga beli sendiri) banyak yang berakhir dengan foto gelap tanpa gambar, terbakar dengan semburat merah atau muka yang jadi terlalu putih.

Ponsel kamera pertama yang saya miliki adalah saat kelas 3 SMA. Waktu itu, saya tidak sering menggunakan fasilitas kameranya meskipun ponsel saya juga memiliki kamera. Ini karena memori ponsel saya sangat terbatas, bahkan untuk nada dering saja harus benar-benar dipilih untuk tidak kebanyakan disimpan dalam ponsel dan memberati memorinya. Ponsel kamera yang biasa dan mungil, bukan jenis ponsel yang hits dipakai anak muda pada masa itu, fungsinya pas-pasan tapi alhamdulillah.

Sekalipun fiturnya pas-pasan, tapi kamera ponsel saya sangat membantu ketika menjelang kelulusan dan kami diharuskan mengumpulkan foto untuk buku angkatan. Saya dan beberapa orang teman dekat yang merasa keberatan untuk dengan 'niat' berfoto di studio dan mengeluarkan biaya yang cukup lumayan kemudian berinisiatif untuk berfoto dengan kamera ponsel saya. Padahal saat itu kameranya masih VGA dan kualitasnya ya begitulah. Hanya saja karena digital, jadi begitu tidak puas dengan hasilnya kami bisa menghapus dan mengulang kembali pengambilan foto.

Cukup praktis dan efisien, ehmm hemat sih maksudnya :p Meskipun hasilnya ya... apa adanya, tapi tidak begitu beda jauh sama hasil foto teman lain karena cetakan buku angkatan kami juga bukan yang bening.

Ponsel Berkamera Kedua, Teman Setia di Perantauan


Ketika saya harus kuliah ke luar kota, adik saya duduk di sekolah menengah pertama dan mulai membutuhkan ponsel. Ponsel saya kemudian berpindah tangan ke adek dan orang tua membelikan saya ponsel baru dengan cara menambah uang tabungan saya untuk beli ponsel. Iya, orang tua saya adalah jenis orang tua yang demikian, kalau anaknya pengin sesuatu harus berusaha sendiri dengan menabung dulu, mereka cuma membantu kekurangan bukannya langsung memberikan barang yang diinginkan.

Ponsel baru ini cukup lumayan dan menemani saya hingga semester empat dimasa perkuliahan. Saat itu saya memakai ponsel sebagai teman kegiatan sehari-hari, sekadar memotret pelangi di langit perantauan, hujan berjam-jam diluar jendela kamar kos dan banyak kesempatan lainnya dimana saya pakai juga fitur kameranya untuk blogging dan media sosial. Saya turut serta dalam organisasi pers mahasiswa kampus sebagai anggota aktif pada tahun-tahun pertama, jadi ponsel tersebut selalu bersama saya untuk merekam wawancara, mengambil foto narasumber,peristiwa dan lain sebagainya. Pernah rusak dan membuat saya khawatir hingga susah tidur beberapa hari karena kerusakannya (dan karena khawatir biaya reparasinya mahal padahal budget saya sungguh mepet) tapi berhasil sehat-sehat saja setelahnya. Saya baru harus benar-benar berpisah dengan ponsel itu ketika dalam sebuah perjalanan, saya kecopetan dan si ponsel raib begitu saja.

Dengan omelan mami selama berhari-hari, saya akhirnya kembali memakai ponsel jadul milik bapak yang seberat batu bata dan hanya bisa dipakai untuk telepon dan sms saja. Baterainya awet sih, hanya kadang-kadang suka mati sendiri karena perekat baterai sudah tidak bagus jadi sering lepas. Saya bertahan memakai ponsel itu selama beberapa bulan, sudah dalam fase tidak peduli dengan pandangan heran orang sekitar setiap saya sedang memakai si ponsel 'vintage' ala anak muda berselera 10 tahun kebelakang. Soalnya kalau mau beli ponsel baru lagi juga uang tabungan saya terlalu minimalis, sayang untuk dibongkar. Maklum anak kos di perantauan, banyak kebutuhan tapi tidak enak kalau sebentar-sebentar minta kiriman uang dari orang tua.

Hingga sampai dimana mami merasa kasihan, karena sering sekali pembicaraannya lewat telepon dengan saya harus terputus ditengah obrolan karena slot baterai lepas. Pada suatu liburan panjang usai lebaran, mami saya memutuskan untuk membelikan ponsel baru yang cukup bagus dengan harga yang bersahabat.

Tragedi Kehilangan dan Ponsel Berkamera Ketiga



Ponsel berkamera ketiga ini, meskipun hanya sebentar bersama saya tapi juga adalah ponsel yang paling tidak bisa saya lupa. Bukan karena layarnya yang bening, wallpaper bergerak dengan kualitas warna tinggi, bentuknya yang tipis dan handy bahkan bukan juga karena speakernya yang bagus. Tapi karena cerita setelah ponsel itu menjadi milik saya.

Karena masih baru, saya baru saja transfer nomor-nomor yang penting dari ponsel jadul dan buku telepon. Saat itu, ganti ponsel masih benar-benar merepotkan semua data harus dipindah satu per satu dengan manual. Tidak seperti sekarang yang mudah karena program backup atau aplikasi lain. Belum banyak file di ponsel baru itu, mungkin hanya sedikit lagu-lagu dan foto bareng mami dan adek saya yang barusan saja diambil. Agak tumben, karena mami saya bukan jenis orang yang suka foto-foto selain foto untuk keperluan administratif pekerjaan atau kependudukan. Sekarang pun saya tidak bisa membayangkan beliau selfie-selfie dan aktif di sosial media serta aplikasi chatting seperti kebanyakan orang tua teman-teman saya atau beberapa tante saya. She's not that kind of person. Jadi saya heran aja kok kami berhasil mengajak mami saya selfie sebelum mami saya keluar rumah karena ada urusan.

Saya masih usia belasan tahun ketika itu, belum tahu apa-apa tentang dugaan apalagi firasat. Saya pernah mimpi buruk beberapa bulan sebelum kejadian, mimpi potong rambut tapi sungguh mimpi itu begitu mengerikan. Yang seram bukan kejadian potong rambutnya yang ala mimpi horor, tapi perasaan sakit dan sedih yang tidak tertahankan saat bermimpi. Terlalu sakit, meskipun ternyata cuma mimpi yang kata banyak orang adalah hanya bunga tidur semata.

"Mimpi itu artinya tidak baik tau, Nin!" kata seorang teman, saat saya bercerita keesokan hari.
"Mungkin aku terlalu banyak nonton film horror belakangan ini," saya menukas.
"Itu artinya akan ada yang meninggal dan masih berada dalam lingkunganmu,"
"Iya gitu?" kening saya berkerut.
Teman saya mengedikkan bahu, "beberapa kali terbukti dari cerita keluarga sih, bukan aku sendiri."
Kening saya masih berkerut dan tiba-tiba merasa khawatir, salah seorang paman saya ada yang sakit cukup parah. Beliaukah...? Saya bertanya dalam hati sebelum kemudian mengusir pikiran itu sendiri, saya merasa kurang ajar karena berpikir demikian. Tidak hanya seolah tidak percaya bahwa umur adalah rahasia Allah, tapi juga seolah menghakimi karena seseorang sakit maka usianya akan tidak lagi lama.

Bulan-bulan berlalu tanpa ada kejadian spesial, apalagi kabar buruk. Kondisi paman saya semakin sehat dan saya bersyukur bahwa yang saya dengar dari teman saya hanyalah hipotesis dan bagian dari mitos.

Hingga kejadian ini terjadi, begitu cepatnya sampai nyaris seperti kilat. Terdengar tanpa terlihat, sekilas tapi meninggalkan kerusakan yang serius dan rasa sakit yang lama saat hari itu tiba.

Usai lebaran, di kota kami mengenal tradisi semacam acara syukuran dengan makan-makan besar. Memasak ketupat dan makanan dalam jumlah banyak kemudian dibagikan ke tetangga sekitar rumah dan orang-orang kurang mampu tidak jauh dari lingkungan rumah. Tradisi ini disebut orang dengan nama lebaran ketupat. Mami dan bapak berasal asli dari kota saya itu, sebuah kota kecil di provinsi Jawa Timur yang tidak populer.

Saat lebaran ketupat, mami saya biasanya akan memasak seharian di rumah kakek saya bersama saudara-saudaranya yang lain. Nenek saya qadarullah sudah tutup usia lebih dahulu. Bapak ada urusan yang berhubungan dengan bisnisnya, mami meminta saya menemani ke rumah kakek dengan naik motor. Sore itu saya menyanggupi dan memasukkan ponsel saya ke saku celana. Tidak biasanya, mami meminta saya membonceng di belakang dengan membawa belanjaan. Kemarin-kemarin sayalah yang selalu menyetir dan mami membonceng dibelakang setiap kali beliau minta diantar kemanapun, bahkan ke pasar atau saat akan berangkat mengajar. Adek jaga rumah karena bapak tidak membawa kunci sejak keluar rumah pagi tadi.

Tidak seperti ibu-ibu kebanyakan yang saat ini sering menghiasi meme dengan kebiasaan memberi tanda lampu ke kiri padahal belok ke kanan, lagi-lagi mami saya tidak seperti itu. Beliau sudah mengendarai motor sejak lebih dari setengah umurnya saat itu dan mengendarai motor ala beliau adalah kecepatan sedang, mematuhi tiap peraturan dan plang lalu lintas juga memakai tanda lampu motor sesuai dengan fungsi.

Di tengah perjalanan, sesuatu terjadi. Entah apa. Yang sampai ke ingatan saya hanyalah suara kencang benturan dan kemudian gelap, senyap. Telinga saya beberapa saat kemudian menangkap suara ribut dan ramai orang-orang kemudian sepi lagi. Saksi mata menyatakan bahwa mami saya berhenti di pinggir jalan ketika sebuah mobil besar melaju kencang dari arah sebaliknya dengan sopir yang diduga mengantuk atau entah mabuk. Mereka bilang tabrakan sedemikian keras karena mami saya sampai terbang dari motor cukup jauh sebelum terhempas dengan tulang tubuh yang patah begitu banyak dan saya entah bagaimana menderita patah kaki dan luka gores dalam hingga tulang kaki saya nampak dari luar.

Sempat saya tersadar untuk mendapati sedang terbaring dalam sebuah mobil bak dengan alas seng panas terbakar matahari, bersama dengan kerumunan orang yang hampir semuanya tidak saya kenal dan samar-samar. Tidak ada sakit yang saya rasakan ketika tersadar, hanya panas alas mobil bak yang  usai dimanja matahari menyiksa saya sebelum semuanya gelap kembali bagi mata saya.

Lucu, dengan cara yang ironis. Saya yang mengalami ini ditempat kejadian tapi justru tahu paling akhir. Tahu bagaimana penjelasan dari semua kejadian itu belakangan. Tahu kondisi fisik saya sendiri belakangan dan tahu bahwa mami saya rahimahullah juga belakangan. Kerabat memberikan penjelasan yang tidak sesuai kenyataan, bahwa mami saya sudah enakan di ruangan lain. Saya tahu bahwa penjelasan itu tidak sesuai dengan apa yang saya duga, tapi saya diam saja. Padahal kondisi orang-orang yang banyak menengok saya di rumah sakit tidak menggambarkan hal itu. Bagian hati saya tahu, ada berita duka.

Pandangan yang menggelap menjelang kejadian seperti istilah vision burn yang pertama saya dengar dari lagu sebuah band luar, kenangan yang terpecah seperti potongan gambar puzzle berserak tidak beraturan menjelang perginya kesadaran yang saya alami itu ternyata ada, bukan hanya bualan dalam buku-buku dan lagu.

Mendengar kondisi terakhir mami saya yang luka parah di kepala dan tulang tubuh yang banyak patah, hati saya merasa sakit meskipun saya tidak menangis. Tapi menjalani hidup sebagai anak usia belasan dengan adik saya yang baru masuk SMA kelas 1, masuk usia yang rawan-rawannya dalam hidup, butuh arahan dan bimbingan ternyata tidak mudah. Tidak mudah kehilangan ibu dalam usia seperti ini, harus vakum dari dunia perkuliahan sementara dan terlebih dengan kondisi keluarga yang tidak stabil sesudahnya.

Saya tidak marah akan kehilangan, pun pada Allah. Tapi kondisi rumah saat itu yang tidak baik dan banyaknya kenangan saat saya harus tinggal di rumah dalam waktu lama, ternyata kerepotan untuk dapat saya tangani. Hubungan dengan bapak yang memburuk, sifat bapak yang jauh berbeda telah berubah bahkan sanak keluarga pun yang dulu dianggap dekat malah mengambil keuntungan dari kondisi keluarga kami yang sudah seburuk itu. Masa ini adalah salah satu masa sulit dalam hidup saya.

FOTO TERAKHIR YANG BERHASIL SELAMAT
Ponsel berkamera yang baru saja dibelikan mami saya ketika saya pulang untuk mudik kemarin, hancur dan pecah saat terjadinya tabrakan. Foto si adek dan mami saya yang diambil dengan ponsel itu, untungnya sempat dikirim melalui bluetooth ke dalam ponsel adek sehingga masih terselamatkan. Foto itu sampai sekarang masih kami simpan sebagai foto terakhir dari mami. Adek saya menyesal mengapa tidak mengambil banyak foto bersama waktu itu, namun dia sama seperti saya tentu tidak paham apa yang sesungguhnya akan terjadi berikutnya. Hanya Allah lah yang paling tahu.

Tapi saya harap beliau tahu bahwa anak-anaknya tumbuh dengan baik, sekalipun kami bukan orang-orang inspiratif yang diliput dalam media sosial atau televisi. Namun saya merasa puas, kami tumbuh dengan baik dalam kondisi yang serba sulit. Tidak bergulat dalam pergaulan negatif atau pengaruh kurang baik serta cukup sukses dalam dunia akademi, tidak macam-macam dan lulus kuliah tanpa molor. Dengan kemampuan yang terbatas dan naik turunnya iman, kami adalah juga hamba yang berusaha untuk terus mendekatkan diri pada sang pemilik hati dan nyawa kami demi kebutuhan kami akan cintaNya dan demi aliran pahala kepada orang tua kami. Semoga beliau juga merasa bangga, meskipun tidak berada bersama kami dalam masa-masa yang paling sulit dan paling penting.

SHE'S MY WHOLE WORLD. Foto ini adalah foto yang terus saya bawa sejak kembali merantau, berjuang lulus kuliah, menyambung hidup dengan menulis sambil melamar kerja, masuk kerja dan berpindah-pindah hingga saat ini. Karena hilangnya file foto kamera ponsel (beserta ponselnya) dengan beliau dan banyak foto-foto yang hilang pasca mami saya rahimahullah karena berbagai sebab.
SAYA DAN MAMI DALAM ILUSTRASI : Jika beliau masih ada dan mendampingi saya saat menikah. Semoga Allah senantiasa mengasihi beliau :')

Ponsel Berkamera dan Saya, Saat Ini
Tentang saya dan ponsel berkamera saya saat ini, setelah kehilangan besar yang melubangi hati saya dan adek ketika itu... saya jadi lebih banyak mengambil foto untuk menyimpan kenangan. Baik bersama keluarga, suami dan teman-teman. Ponsel dengan kamera, bagi saya tidak lagi menjadi kebutuhan pendukung tapi sudah jadi sebuah keharusan karena praktis untuk mengabadikan momentum. Bukan karena narsis akut, tapi juga sebuah kebutuhan akan terekamnya banyak kenangan. Baik yang menyenangkan, membuat kesal atau sedih yang saya lewati bersama mereka.

BERSAMA TEMAN-TEMAN





MOMEN BERSAMA KELUARGA






Saya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengabadikan dan menyimpan foto bermuatan kenangan dengan cerita dibaliknya yang biasanya saya tulis ulang dalam jurnal pribadi agar tidak terlupa. Foto, tulisan dan ilustrasi bagi saya adalah the best memory keeper. Tidak akan disesali pernah disimpan.

Ponsel berkamera saya juga yang menemani saya untuk mengambil banyak foto untuk keperluan pekerjaan, blogging maupun lomba menulis. Selama ini hasil fotonya cukup bagus meskipun kameranya tidak sekeren Zenfone 2 Laser ZE550KL dengan kamera belakang 13 MP, kamera ponsel saya masih dibawah ponsel ini jauh. 10 MP tidak sampai. Kamera depan 5 MP, lagi-lagi ponsel saya tidak ada yang setinggi itu kualitas pengambilan gambarnya.

Jujur, karena tulisan ini saya ikutkan dalam kontes tanpa persiapan khusus dalam waktu yang masih 'beraroma' hari raya, saya tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengambil foto dengan Zenfone ASUS ini. Tapi pada saat saya masih bekerja tahun lalu, teman-teman satu kantor saya kompak membeli Zenfone ASUS dari sebuah e-commerce karena kadar kecakepan ponsel ini. Fasilitas yang keren di kalangan ponsel android, kamera yang terbilang tinggi megapixel-nya juga harga yang tidak seperti bawang kalau dilihat (bikin nangis) menjadi alasan mereka ramai-ramai membeli ponsel keren ini.



Saya juga sudah pernah mencoba utak-atik ponsel Zenfone keluaran ASUS milik teman-teman, sungguh cakep sekali dari desain luar sampai dalamnya. Selain cakep overload, ponsel ini uniknya juga sangat user friendly, tidak sulit dioperasikan bahkan untuk pengguna baru. Saya juga pengin beli setelah melihat kadar cakep ponsel Zenfone ini, tapi saat itu ponsel saya sudah dua dan keduanya berfungsi dengan baik sehingga suami tidak mengizinkan beli. Beda dengan sekarang, ketika ponsel saya yang satu sudah minta pensiun karena software-nya sudah lambat luar biasa padahal tidak banyak data yang saya simpan dalam ponsel. Ah semoga ada rezeki memiliki ponsel Zenfone ASUS ini, insyaAllah :)

sumber foto : dokumen pribadi
foto ASUS : blog Mbak Uniek
ilustrasi : oleh saya, untuk mengikuti Giveaway ini

Giveaway Aku dan Kamera Ponsel by uniekkaswarganti.com