October 27, 2017

BEHIND THE STORY

pic source: Pixabay.com
Saya terlahir sebagai anak sulung, alias anak pertama. Setelah menjadi anak tunggal selama 4 tahun, lahirlah adik saya. Untuk beberapa lama saya merasa anak orang tua saya yang pertama ya saya ini.

Sampai kemudian saya mendapat cerita bahwa di tahun-tahun sebelum saya lahir, sudah ada kelahiran-kelahiran lainnya sebelum saya. Memang sudah sempat beberapa kali mendengar sejak kecil dari ibu saya sendiri bahwa sebelum saya lahir, beliau sangat menginginkan anak. Sementara tahun demi tahun dilewati dalam pernikahan dan belum ada tanda-tanda positif hamil juga. Segala usaha sudah dilakukan mulai dari minum jamu hingga berkonsultasi ke dokter, namun belum ada kabar bahagia setelah sekian tahun pernikahan.

Namun baru saat saya mulai agak besar, saya mendapatkan cerita itu. Bahwa ibu saya pernah hampir memiliki dua anak sebelum melahirkan saya. Yang satu keguguran dan yang satunya lagi, ada yang bilang sudah meninggal ketika dilahirkan. Dari cerita bapak, yang meninggal ini bayi laki-laki.

Untuk orang tua saya yang keduanya bekerja sebagai pegawai negeri, tentu mereka memiliki batasan jumlah anak. Sehingga jika dua saudara saya yang terdahulu dari masa kehamilan, tanda tanda persalinan hingga kelahirannya berjalan lancar dan selamat maka mungkin saya tidak dilahirkan di dunia ini. Atau mungkin dilahirkan oleh orang tua yang berbeda? Entahlah, kadang-kadang saya bertanya-tanya tentang kemungkinan-kemungkinan itu.

Dan apakah itu kebetulan?
Saya rasa tidak, itulah mengapa kita diajarkan untuk tidak mempercayai kebetulan. Karena selalu ada alasan dibalik itu. Alasan yang mungkin hanya Allah saja yang tahu mengapa, berikut juga sebab dan akibatnya.

Ketika lebih dewasa, saya juga tahu lebih banyak cerita dari ibu saya, mungkin karena hubungan kami yang lebih dekat karena pola pikir saya yang telah berubah. Bahwa saya adalah anak yang sudah lama ditunggu, sebelum hamil saya, ibu saya terus menangis setiap kali datang bulan. Sering menggendong keponakan-keponakan dan tidak keberatan diompoli oleh mereka. Ibu saya sering bertanya-tanya tentang bagaimana rasanya hamil dan melahirkan sendiri, apakah beliau nantinya akan diberi kesempatan untuk merasakan itu?

Saat akhirnya hamil dan mengandung saya, beliau exited luar biasa tapi sekaligus juga lemah dan khawatir sehingga harus beberapa kali di opname karena kondisinya. Yang lebih horor, kehamilan yang sudah lama dinanti itu membuat beliau paranoid, terlebih jika ingat apa yang terjadi pada kehamilan sebelumnya. Sekian minggu sebelum hari prediksi kelahiran pun beliau lebih memilih untuk opname karena ketakutan terjadi sesuatu yang tidak bisa dia tangani jika dia tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Bisa jadi itu karena trauma.

Saya merasa sedih mengingatnya kembali karena waktu tidak pernah bisa diputar kembali, karena saya sungguh tidak tahu apa yang harus beliau alami demi dan karena mengandung saya. Sementara mengembalikan air susunya selama sehari pun saya tidak memiliki kesanggupan itu.

Ketika beliau tiada, saya masih remaja. Belum mampu mengerti sepenuhnya pada jalan pikiran beliau, seperti ibu dan anak lainnya kami juga sering tidak sependapat baik tentang saya atau tentang ibu saya yang menurut saya karena terlalu baik dan selalu mengambil sikap mengalah justru diremehkan oleh beberapa orang.

Karena saya merasa saat itu masih terlalu muda, saya kehilangan kesempatan untuk menunjukkan bahwa meskipun keras kepala, saya juga memiliki mental pejuang yang selalu berusaha mendapatkan sesuatu dengan usaha sendiri tanpa harus bergantung pada uluran tangan orang lain. Saya tidak memiliki kesempatan untuk membiayai perjalanan beliau kemanapun dengan uang sendiri, karena selama ini tidak pernah sekalipun beliau punya kesempatan untuk jalan-jalan dan menyenangkan diri sendiri. Waktunya selalu habis untuk rumah, pekerjaan, sekolah dan anak didiknya. Pun tidak berkesempatan membelikan barang-barang yang selama ini beliau anggap mahal dengan uang sendiri. Karena masa-masa remaja saya, royalti novel dan honor menulis di majalah yang saya terima hanya sampai di angka ratusan ribu setiap beberapa bulan sekali.

Saya juga tidak memiliki waktu yang cukup untuk menunjukkan bahwa banyak hal yang tetap bisa kita peroleh dalam waktu yang bersamaan dan kita bisa tetap memiliki keputusan terbesar serta otoritas terhadap diri sendiri.

I hope she knew it.

1 comment:

  1. ketika ibu hamil aku, kondisinya juga lemah Nin. ngga bisa makan nasi sama sekali karena selalu keluar. efeknya, akunya sekarang jadi jarang makan nasi juga wkkwkw

    ReplyDelete